lanjutan IKTERUS N
Ikterus Fisiologis
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin
indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat
dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru
terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4,
dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah
dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini
dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah
merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi
bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan
bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi
aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan kadar yang
lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan
diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai
pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12
mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan
setelah hari ke-10.
Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi
aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus
berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk
menentukan penyebab ikterus jika :
1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan.
2. Bilirubin serum meningkat dengan
kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam.
3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12
mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm.
4. Ikterus persisten sampai melewati minggu
pertama kehidupan, atau
5. Bilirubin direk lebih besar dari 1
mg/dl. (4,5,8)
Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk
penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis
dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi
bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan
konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini
biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.
Kernicterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah
kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus
hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara klinis pada
awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau
menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila
berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang
disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan
bicara dan retardasi mental. (4,8,9)
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat
berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus
neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “uptake” dan
konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar).
Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan
penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin
kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain. (2,4,5,7,8,9)
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian
air susu ibu.
Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm,
yang menyusu, memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup
berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar
10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia
secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10
minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar
bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam
beberapa hari.
Penghentian menyusu selama 2-4 hari,
bilirubin serum akan menurun dengan cepat, setelah itu mereka dapat menyusu
kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia dengan kadar
tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain
dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu
mengandung 5 -pregnan-3 , 2-diol dan asam lemak rantai panjang,
tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktivitas konjugasi
glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu
lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin bertanggung
jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang
sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia
tak-terkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan
dan menyusu pada ibu. (9)
2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat
terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila
terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal
ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga
dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z
terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan
anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil
transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita
hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan
pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut
dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi
pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul
apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin
melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar
bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan
imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan
kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi. (7,9)
2.5 Manifestasi Klinis
Pengamatan ikterus paling baik dilakukan
dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar
bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1
mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara
klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing
tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar
bilirubinnya. (7,9)
2.6. Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri
sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada
bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah,
riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu
faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah
kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang
diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus,
gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat
dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Ikterus yang tampak
pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri. Pada bayi dengan
peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai
jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning
kulit terlihat agak kehijauan. Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita
ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis
karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila
penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering
hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum
berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie,
pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan
sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus
berat atau hiperbilirubinemia berat.
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat
timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab
ikterus tersebut. Ikterus yang timbul hari pertama sesudah lahir, kemungkinan
besar disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah (ABO, Rh atau golongan
darah lain). Infeksi intra uterin seperti rubela, penyakit sitomegali,
toksoplasmosis, atau sepsis bakterial dapat pula memperlihatkan ikterus pada
hari pertama. Pada hari kedua dan ketiga ikterus yang terjadi biasanya
merupakan ikterus fisiologik, tetapi harus pula dipikirkan penyebab lain
seperti inkompatibilitas golongan darah, infeksi kuman, polisitemia, hemolisis
karena perdarahan tertutup, kelainan morfologi eritrosit (misalnya
sferositosis), sindrom gawat nafas, toksositosis obat, defisiensi G-6-PD, dan
lain-lain. Ikterus yang timbul pada hari ke 4 dan ke 5 mungkin merupakan kuning
karena ASI atau terjadi pada bayi yang menderita Gilbert, bayi dari ibu
penderita diabetes melitus, dan lain-lain. Selanjutnya ikterus setelah minggu
pertama biasanya terjadi pada atresia duktus koledokus, hepatitis neonatal,
stenosis pilorus, hipotiroidisme, galaktosemia, infeksi post natal, dan
lain-lain. (7,9)
2.7. Diagnosis Banding
Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau
dalam waktu 24 jam pertama kehidupan mungkin sebagai akibat eritroblastosis
foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis
kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus,
mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa
tingginya. Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya
bersifat “fisiologik”, tetapi dapat pula merupakan manifestasi ikterus yang
lebih parah yang dinamakan hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik
familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari
ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu
pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan
ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis
dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat ekimosis
atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau
sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus
dini.
Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah
minggu pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia
kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis
herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia
hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain,
seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia,
penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang
disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim
glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau
glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.
Ikterus persisten selama bulan pertama
kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile
syndrome” (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi neonatus),
hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus
nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik
duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan
nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung
berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita
penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau
saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan
penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin
langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit,
golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi.
Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan
bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya hemolisis; bila
tidak terdapat ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan
kemungkinan adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia
direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan
sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu kemungkinan diagnosis. Jika hitung
retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat
hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik. (9)
2.8. Penatalaksanaan
I. Pendekatan menentukan kemungkinan
penyebab
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya
mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan
suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang
dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti
yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :
A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama
menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
- Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau
golongan lain.
- Infeksi intrauterin (oleh virus,
toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).
- Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD.
Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :
- Kadar bilirubin serum berkala
- Darah tepi lengkap
- Golongan darah ibu dan bayi
- Uji coombs
- Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim
G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.
B. Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah
lahir
- Biasanya ikterus fisiologis
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas
darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan
kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.
- Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin
- Polisitemia
- Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan
subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain-lain).
- Hipoksia.
- Sferositosis, eliptositosis dan
lain-lain.
- Dehidrasi asidosis.
- Defisiensi enzim eritrosit lainnya.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
Bila keadaan bayi baik dan peningkatan
ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar
bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya
bila perlu.
C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam
pertama sampai akhir minggu pertama
- Biasanya karena infeksi (sepsis).
- Dehidrasi asidosis.
- Difisiensi enzim G-6-PD.
- Pengaruh obat.
- Sindrom Criggler-Najjar.
- Sindrom Gilbert.
D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu
pertama dan selanjutnya
- Biasanya karena obstruksi.
- Hipotiroidisme.
- “breast milk jaundice”
- Infeksi.
- Neonatal hepatitis.
- Galaktosemia.
- Lain-lain.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
- Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek)
berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan penyaring G-6-PD.
- Biakan darah, biopsi hepar bila ada
indikasi.
- Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan
kemungkinan penyebab.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ikterus baru
dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya tidak
menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi
‘kernicterus’.
Ikterus yang kemungkinan besar menjadi
patologis yaitu :
1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam
pertama.
2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi
12,5 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada neonatus kurang bulan.
3. Ikterus dengan peningkatan
bilirubin-lebih dari 5 mg%/hari.
4. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu
pertama.
5. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan
proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis lain yang telah diketahui.
6. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
II. Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan
peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik.
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan
ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole,
novobiosin, oksitosin dan lain-lain.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada
janin dan neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2
hari sebelum partus.
5. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi
baru lahir.
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.
III. Mengatasi hiperbilirubinemia
Mempercepat proses konjugasi, misalnya
dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme inducer’
sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan dengan cara ini tidak begitu
efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang
berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari
sebelum melahirkan.
Memberikan substrat yang kurang untuk
transportasi atau konjugasi. Contohnya yaitu pemberian albumin untuk mengikat
bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20
ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh
karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke
vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan
tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber
energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan
fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat,
cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat.
Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.
Tranfusi tukar
Pada umumnya tranfusi tukar dilakukan dengan
indikasi sebagai berikut :
- Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin
indirek 20 mg%.
- Kenaikan kadar bilirubin indirek yang
cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam.
- Anemia yang berat pada neonatus dengan
gejala gagal jantung.
- Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat
< 14 mg% dan uji Coombs direk positif.
Sesudah tranfusi tukar harus diberi
fototerapi. Bila terdapat keadaan seperti asfiksia perinatal, distres
pernafasan, asidosis metabolik, hipotermia, kadar protein serum kurang atau
sama dengan 5 g%, berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan tanda-tanda
gangguan susunan saraf pusat, penderita harus diobati seperti pada kadar
bilirubin yang lebih tinggi berikutnya.
IV. Pengobatan umum
Bila mungkin pengobatan terhadap etiologi
atau faktor penyebab dan perawatan yang baik. Hal lain yang perlu diperhatikan
yaitu pemberian makanan yang dini dengan cairan dan kalori cukup dan iluminasi
kamar bersalin dan bangsal bayi yang baik.
V. Tindak lanjut
Bahaya hiperbilirubinemia yaitu
‘kernicterus’. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia
perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut :
1. Penilaian berkala pertumbuhan dan
perkembangan
2. Penilaian berkala pendengaran
3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila
terdapat gejala sisa (3,4,9)
2.9. Prognosis
Hiperbilirubinemia baru akan berpengaruh
buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar darah otak. Pada keadaan
ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala
ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru
tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat
ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia.
Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada
stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran
dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka
sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan
berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan
mental serta ketajaman pendengarannya. (7,9)
DAFTAR PUSTAKA
1. Arfin Behrman Kligman, Nelson; Dalam
Ilmu Kesehatan Anak, volume I, edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999,
hal 610-617.
2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed),
Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku 2, edisi 7,
Bab 20, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 519-522.
3. Shopin Steven M Kern Icterus; Newborn
Jaundice on line, Verginia Commonhealth Univercity, http.//www.mcvfoundation.org.
4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus
dalam Pedoman Tata Laksana Medik Anak RSUP. Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2,
Medika FK UGM, Yogyakarta 2000, hal 37-43.
5. Poland R, dan Ostrea E.M.;
Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus M.H, Fanaroff A.A (ed);
Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1998, hal
367-389
6. Sacharin R.M., Penyakit Saluran
Pencernaan, Hepar dan Pankreas dalam Ni Luh Gede Yasmin Asih (ed); Prinsip
Keperawatan Pediatrik, Edisi 2, EGC, Jakarta, 1993, hal 475.
7. Asil Aminullah; Ikterus dan
Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam A.H. Markum (ed), Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1999, hal :
313-317.
8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed),
Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab
32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal : 1101-1115.
9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson
W.E., Vaughan V.C. (ed); Icterus Neonatorum in Nelson Textbooks of Pediatrics,
XIVrd Edition; W.B. Saunders Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, 1992;
pages 641-647.